Krisis di sosial media semakin memprihatinkan kala isi
konten penggunanya menyinggung SARA atau RASIS, menyebar berita bohong
dan palsu (hoax), hingga ungkapan kebencian (hate speech). Nama agama
Islam pun tercoreng berat dengan sikap penolakan keras nan anarkis salah satu
organisasi masyarakat (ormas) atas nama agama. Sejak pertama saya
mengenal ormas tersebut adalah ketika ada masalah kecil yang
diselesaikan dengan kekerasan berupa ancaman bahkan penyerangan secara
fisik. Apalagi saat ini imam besar mereka sedang tersandung berbagai
masalah dengan negara. Sebagai pemeluk agama Islam merasa sangat malu
sekali atas sikap orang tersebut. Berani mengatakan kata KAFIR di muka
umum tanpa sedikit pun merasa berdosa. Padahal Rasulullah SAW yang ilmu
agamanya lebih baik tidak pernah melakukannya. Cukuplah berkata di dalam
forum dakwah, yaitu kepada pengikut yang seiman saja. Justru
mengajarkan kepada kita untuk menghormati dan menyayangi selama tidak
menyakiti. Jika kaum tersebut menyakiti, beliau sendiri tetap berbuat
baik dan mendoakan agar segera sadar bahwa yang dilakukan itu salah.
Sebelum saya melanjutkan berkisar melalui opini, izinkan
untuk menampilkan sesuatu yang menjadi sumber inspirasi. Memberanikan
diri menulis daripada hanya dipendam dalam hati atau justru hanya
berkomentar di sosial media, alangkah baiknya dituangkan di sini.
Sepertinya sudah bukan menjadi rahasia lagi karena sudah banyak orang atau pihak yang melakukan copy-paste (copas).
"Ternyata penulis dan novelis terkenal Tere Liye dulu sering 'nyinyirin' Fatwa MUI, kini dia sudah bertobat."
Dulu, waktu saya masih muda (sekarang sih masih muda juga), saya suka nyinyir dengan Majelis Ulama Indonesia.
Usia saya waktu itu berbilang mahasiswa, baru lulus. Saya
nyinyir sekali setiap MUI merilis fatwa. Hingga pada suatu hari, saking
nyinyirnya, ada teman yang menegur (karena dia mungkin sudah tidak tahan
lihat saya nyinyir di mana-mana), “Bro, jangan-jangan kitalah yang
ilmunya dangkal. Bukan MUI-nya yang lebay. Tapi kitalah yang tidak
pernah belajar agama sendiri.”
Muka saya langsung merah padam, tidak terima. Ini teman
ngajak bertengkar. Enak saja dia bilang ilmu saya dangkal. Tapi sebelum
saya ngamuk, teman saya lebih dulu bilang dengan lembut, “Jangan marah,
bro. Mending pegang kertas dan pulpen gw, nih. Mari kita daftar hal-hal
berikut ini. Kalau sudah didaftar, nanti boleh marah-marah.”
Baik. Karena dia ini teman baik saya, maka saya nurut, ambil pulpen dan kertasnya.
“Pertama, kapan terakhir kali kita baca Al-Qur’an lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya?”
Saya bengong.
“Tulis saja, Bro. Kapan?”
Saya menelan ludah. Berusaha mengingat-ingat.
“Kedua, kapan terakhir kali kita baca kitab hadist, Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dibaca
satu persatu, dipelajari secara seksama?”
Saya benar-benar terdiam.
“Ketiga, kapan terakhir kita duduk di kajian ilmu yang diisi guru-guru agama? Ayo Bro, ditulis saja, kapan terakhir kali?”
Saya benar-banar kena skak-mat. Termangu menatap kertas di atas meja.
“Ayo Bro, ditulis. Kapan?"
Apakah kita tiap hari, tiap minggu telah melakukannya?
Apakah baru tadi pagi kita baca tafsir Al-Qur’an? Baru tadi malam, baca kitab-kitab karangan Imam Ghazali, dan sebagainya?
Saya benar-benar jadi malu!
“Nah, itulah kenapa jangan-jangan kita suka nyinyir dengan
Fatwa MUI, suka nyinyir dengan Ulama. Karena kita merasa sudah paling
berpengetahuan, paling paham tentang agama, tapi kenyataannya, kita cuma
modal pandai bicara saja, pandai bersilat lidah.
Belum lagi kalau ditanya: apakah kita sudah rajin shalat 5
waktu, apakah kita sudah rajin puasa Senin-Kamis, shalat Tahajud,
jangan-jangan kita malah tidak pernah.
Bro, kita nyinyir dengan MUI, karena kita tidak suka saja,
sentimen dengan mereka, dangkal pengetahuannya. Saat kita belajar
betulan ilmu agama, barulah kita nyadar, kita sebenarnya justru sentimen
dengan Al-Qur’an, dengan Nabi, dengan agama sendiri. Karena yang
disampaikan oleh MUI itu, semua ada di kitab suci dan hadist.”
Demikianlah kisah masa lalu itu. Tidak perlu serius bacanya, anggap saja fiksi masa lalu Tere Liye.
(Tere Liye)
*Sumber : Saya mendapatkan dari berbagai sumber yang begitu
banyak, bahkan tidak tahu pasti siapa yang unggah pertama kali. Secara
pribadi berpendapat bahwa tulisan ini merupakan hasil copy-paste (copas)
dari sana-sini. Diharapkan tidak menjadi boomerang bahkan fitnah bagi
siapapun, termasuk penulisnya. Bersifat hanya sebatas referensi
penunjang opini saja.
Saya bukan tipe orang yang membenci ulama, menyadari akan
ilmu yang dimiliki masih sedikit sehingga butuh banyak belajar lebih
tentang agama. Selama Fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan hukum Islam
dan tidak bersifat garis keras, maka secara pribadi akan patuh dan
tunduk. Karena sesungguhnya hukum dalam agama Islam itu memang keras bahkan
memaksa, tapi tidak kaku dalam penerapannya. Jika ormas yang dimaksud
juga bisa bersikap lebih bijak, mengedepankan sopan santun dalam
bersyiar maka sudah sepantasnya mendukung. Selama masih berdakwah
dengan garis keras serta sikap kakunya, maka sudah dipastikan secara pribadi tidak
akan menjadi pendukung sampai mereka berubah. Hal yang perlu diingat adalah tidak mendukung ormas tersebut bukan berarti keluar agama Islam, karena setiap individu berhak dalam
mencari media dakwah yang benar serta cinta damai.