Aku mengira dengan memiliki sosial media kehidupan akan
berubah lebih baik secara drastis. Tapi, ternyata tidak sama sekali.
Justru ada ruang hampa di dalam hati. Entah, bagaimana bisa dan berasal
dari mana? Ekspektasi mengatakan, bahwa akan ada banyak teman yang bisa
diajak bersosialisasi. Mengingat dunia nyata tak cukup menjanjikan untuk
menghadirkan seorang teman yang baik. Sosok kawan yang sesuai dengan
harapan. Setidaknya dia mau menerima diriku apa adanya, bukan ada
apanya.
Aku pun yakin, jika sosial media pasti mampu menghadirkan
kebahagiaan tersendiri. Dimana ada banyak teman yang berbeda-beda dari
segala penjuru dunia. Seperti berbeda keyakinan, ras maupun suku, hingga
mungkin status sosial. Tapi, lagi-lagi tidak seperti yang dibayangkan.
Mereka justru memiliki karakter yang hampir sama dengan wajah-wajah di
dunia nyata. Pujian dan jempol atau Love akan mudah dilontarkan, ketika
aku menjadi bukan diriku sendiri. Menjadi budak yang dituntut harus
selalu sempurna di setiap unggahannya.
Aku juga pernah berurusan dengan golongan yang merasa
paling taat beragama. Mereka menghina sambil berteriak KAFIR secara
berkelompok hanya karena berbeda pendapat. Membenci atas masalah sepele,
yaitu menjelaskan bahwa kaum minoritas tak semuanya bersikap buruk.
Pada praktiknya, justru pihak mayoritas yang sering mendzalimi. Merasa
jumlahnya paling banyak, sehingga dalam hatinya selalu ingin menang
sendiri. Ini bukan dongeng pengantar tidur, tapi kejadian itu memang ada
di kolom komentar salah satu platform jejaring sosial. Mengingat aku
pernah mengalaminya, menyaksikan secara langsung dalam keadaan sadar.
Kalau saudara seiman saja dikatakan TAK BERAKIDAH, bagaimana nasib yang
berbeda keyakinan? Padahal sama-sama Warga Negara Indonesia, lha kok
mempermasalahkan perbedaan?