⚠ PERINGATAN ⚠
Catatan pada unggah blog ini tidak ada sedikit pun maksud menyinggung pihak manapun, termasuk organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI). Hanya berisi kisah pertama mengenal, mengetahui dari media massa, serta pengalaman belaka.
Tahun 2011
Sebuah film layar lebar berjudul Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia. Sebagai penggemar beliau, tak ada salahnya untuk menyaksikan trailer atau sinopsis film sebelum memutuskan nonton. Sepintas memang terkesan seperti film rohani Nasrani, karena ada suara lonceng dan lagu pujian gereja. Belum puas, saya memutuskan untuk browsing sinopsis. Ternyata mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari kita. Merasa hidup dalam toleransi, film satu ini wajib ditonton. Saya pun meluangkan waktu sambil menyisihkan uang jajan pemberian dari orang tua. Secara pribadi, tiket bioskop memang sangat mahal. Mengingat uang saku hanya cukup untuk transportasi serta makan seperlunya di sekolah. Sebuah perjuangan yang cukup berat. Naik bus Damri jurusan Tanjung Perak ke Tunjungan Plaza dengan ongkos yang sebenarnya di luar dugaan. Mahal? Tentu saja, karena mengenakan baju bebas sepulang sekolah. Sehingga wajar jika dianggap sebagai penumpang umum dengan tarif normal.
Sebuah film layar lebar berjudul Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia. Sebagai penggemar beliau, tak ada salahnya untuk menyaksikan trailer atau sinopsis film sebelum memutuskan nonton. Sepintas memang terkesan seperti film rohani Nasrani, karena ada suara lonceng dan lagu pujian gereja. Belum puas, saya memutuskan untuk browsing sinopsis. Ternyata mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari kita. Merasa hidup dalam toleransi, film satu ini wajib ditonton. Saya pun meluangkan waktu sambil menyisihkan uang jajan pemberian dari orang tua. Secara pribadi, tiket bioskop memang sangat mahal. Mengingat uang saku hanya cukup untuk transportasi serta makan seperlunya di sekolah. Sebuah perjuangan yang cukup berat. Naik bus Damri jurusan Tanjung Perak ke Tunjungan Plaza dengan ongkos yang sebenarnya di luar dugaan. Mahal? Tentu saja, karena mengenakan baju bebas sepulang sekolah. Sehingga wajar jika dianggap sebagai penumpang umum dengan tarif normal.
Beberapa hari kemudian, media elektronik televisi channel
infotainment dan beberapa tayangan berita mengabarkan tentang penayangan
film Tanda Tanya. Rupanya ada laporan tentang ceritanya yang dianggap
memurtadkan umat Islam bahkan disebut-sebut sebagai film kafir.Tidak
layak ditonton. Wajah dari pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) muncul
dan memberikan himbauan secara sopan dan santun atas himbauan tersebut.
Sebaliknya, ada salah satu organisasi masyarakat (ormas) atas nama agama
Islam mengecam secara keras. Larangan mereka terdengar sangat fasih dan
vokal sekali.
"Siapakah mereka? Berani-beraninya mengecam dengan kasar?" bergumam dalam hati dengan perasaan penasaran.
Oh, rupanya Front Pembela Islam (FPI) dengan penampilan
garmis serta sorban berpuasa serba putih. Sangat terkejut mengetahui
bahwa mereka ormas atas nama agama, tapi suara mereka tidak mencerminkan
orang beragama. Keras dan memaksa. Anggota FPI seluruh Indonesia siap
melakukan pemboikotan bioskop. Jika film layar lebar tersebut tidak
segera turun layar atau ditarik dari bioskop. Menyatakan akan mendatangi
seluruh bioskop yang memutarnya. Memaksa penonton untuk tidak menonton.
Bahkan calon penonton pun diberi peringatan secara keras. Melalui media
elektronik televisi menyatakan bahwa film berjudul Tanda Tanya karya
Hanung Bramantyo merupakan film yang memurtadkan umat Islam. Bagi yang
sudah atau memaksa diri menonton dianggap KAFIR. Sangat sadis! Sejak
saat itu, saya mengenal ormas FPI.
Perayaan Natal
(Kejadiannya masih pada tahun yang sama seperti cerita di atas, berikut kisah yang pernah saya alami.)
(Kejadiannya masih pada tahun yang sama seperti cerita di atas, berikut kisah yang pernah saya alami.)
Natal merupakan hari raya umat Nasrani. Mereka akan bersuka cita dalam
menyambutnya. Bagi umat Muslim, jauh saat zaman Rasulullah SAW memang
sudah dilarang untuk mengucapkan Selamat Natal. Begitu juga dengan
penggunaan atribut yang bernuansa perayaan sakral tersebut. Lagi-lagi,
ormas FPI berbuat keributan di tengah sosialisasi Fatwa MUI tentang
perayaan Natal bagi seorang Muslim. Mereka melakukan swepping pada pusat
perbelanjaan. Mengincar topi Santa yang dijual atau dikenakan oleh umat
Islam. Tidak masalah kalau sekadar melakukan swepping sambil
bersosialisasi dengan menegur secara sopan dan santun, tapi nyatanya ada
sedikit perlakuan kasar. Beredar kabar, toko penjual atribut Natal
dirusak bahkan tak segan melakukan kekerasan secara fisik terhadap
pengunjung. Sungguh sangat disayangkan, ketika niat baik melakukannya
justru menjadi ajang pemaksaan disertai kekerasan.
Seorang sahabat sempat mengungkapkan keresahannya. Saya pun
mencoba menenangkannya. Kejadian swepping tersebut menjadi awal mula
terjadinya konflik ringan antar pemeluk agama. Bersyukur tidak sampai
berkepanjangan, karena saat momen tahun baru semua kembali seperti sedia
kala. Kejadian serupa pun kembali terjadi ketika menjelang perayaan
Natal bahkan hingga sekarang. Bedanya, kini masih bisa diatasi.
Mengingat semakin banyak masyarakat yang tidak mudah terprovokasi aksi
swepping atribut Natal. Angin segar bagi dunia untuk saling menghormati.
Walau tidak sedikit sindiran dari sesama Muslim yang dianggap
over dosis toleransi kepada non-Muslim. Dan ternyata ormas FPI memang
begitu, maksudnya memiliki sikap tidak mencerminkan umat Islam sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar